Page Nav

HIDE

Kampus Berdampak:

latest

Ads Place

Jangan Jadi Dosen Kalau Gak Kuat Mental: Brutalnya Dunia Akademik di Balik Gelar dan Sertifikasi

Kampus Berdampak -  Di mata banyak orang, profesi dosen identik dengan kemapanan, intelektualitas, dan kehidupan yang teratur. Tapi bagi y...

Kampus BerdampakDi mata banyak orang, profesi dosen identik dengan kemapanan, intelektualitas, dan kehidupan yang teratur. Tapi bagi yang benar-benar menjalaninya, menjadi dosen bukanlah tentang jam mengajar dan status sosial semata. Ini adalah perjalanan mental yang penuh tekanan, ekspektasi tinggi, birokrasi absurd, dan realitas hidup yang kadang tak seindah narasi Tri Dharma.

Mulai dari tugas administratif yang tak berkesudahan, tuntutan publikasi ilmiah internasional, hingga tekanan dari mahasiswa yang sulit diajak bimbingan—semuanya hadir bersamaan, menuntut dosen untuk tampil sebagai akademisi, mentor, life coach, administrator, dan kadang juga sebagai motivator spiritual dadakan.

Yang lebih menyakitkan, sistem birokrasi akademik justru sering menjadi beban, bukan dukungan. Aplikasi seperti SISTER yang awalnya dirancang untuk mempermudah justru berubah menjadi momok. Input BKD terasa seperti ritual tanpa makna, apalagi jika hasil akhirnya tetap saja dianggap “kurang”.

Belum lagi tekanan publikasi di jurnal bereputasi yang seringkali tidak diiringi dengan fasilitas dan dukungan memadai. Antara idealisme menulis untuk ilmu pengetahuan dan realita harus publikasi demi akreditasi, banyak dosen berada di persimpangan: antara bertahan atau menyerah diam-diam.

Belum sempat selesai satu tugas, surat tugas lain datang. Rapat demi rapat dipenuhi notulen yang tak berujung, dan setiap akreditasi seolah jadi “festival deadline nasional” penuh copy-paste dan lembur massal. Di tengah semua itu, kesehatan mental sering kali dikorbankan, bahkan dianggap remeh.

Ironisnya, saat burnout melanda, waktu untuk healing justru jadi kemewahan. Zoom meeting yang tak ada habisnya, grup WhatsApp yang aktif 24 jam, dan ekspektasi multitasking di rumah membuat batas antara kerja dan kehidupan pribadi nyaris lenyap. Bahkan komunitas curhat dosen di medsos kini jadi pelampiasan tersisa yang paling jujur.

Namun, di tengah tekanan itu, selalu muncul satu pertanyaan klasik: masihkah profesi dosen layak diperjuangkan? Banyak yang mulai mencari jalur baru: menjadi dosen-konsultan, dosen-YouTuber, atau membangun komunitas dan brand sendiri di luar kampus. Adaptasi jadi jalan hidup. Bagi yang tetap bertahan, mereka tak sekadar mengajar—mereka bertarung menjaga warasnya jiwa di tengah sistem yang tak selalu ramah.

Sebagian lagi memilih untuk menyuarakan perlawanan. Sebagian lainnya diam demi keamanan. Dan tidak sedikit pula yang akhirnya keluar dari sistem, dengan harapan bisa membangun sistem baru yang lebih manusiawi.

Menjadi dosen bukan soal mengajar di depan kelas. Ini soal bertahan di dunia pendidikan yang tak selalu memihak pada pendidik. Ini bukan profesi untuk mereka yang lemah hati. Dibutuhkan mental baja, fleksibilitas tingkat dewa, dan kadang—sedikit kegilaan agar tetap bisa tersenyum saat semua terasa absurd.

Menjadi dosen adalah pilihan yang penuh tantangan. Tapi justru karena berat, profesi ini layak dihargai. Bukan hanya karena gelarnya, tapi karena keberaniannya bertahan. Di antara tekanan administrasi dan tuntutan akademik, ada sekelompok manusia yang tetap memilih untuk mendidik, meski seringkali lupa didukung.

Dan untuk setiap dosen yang masih bertahan, tulisan ini adalah pelukan virtual yang berkata: kamu tidak sendiri, kamu hebat, dan kamu layak untuk didengar.

📌 Jika kamu adalah dosen yang sedang bertanya-tanya, “Apa masih layak diperjuangkan?”, mungkin inilah waktunya membaca ulang perjuanganmu sendiri. Baca selengkapnya




Tidak ada komentar

Ads Place