Kampus Berdampak - Setiap tahun, ribuan brosur dicetak, puluhan pameran diikuti, dan ratusan unggahan media sosial dibagikan. Namun tetap...
Ketika sebuah kampus gagal menarik mahasiswa baru, pertanyaannya bukan hanya “apa yang salah?”, tapi juga “siapa yang seharusnya bertanggung jawab?”. Apakah rektor yang terlalu visioner tanpa eksekusi, atau tim marketing yang penuh gaya tapi tak menghasilkan?
Dalam banyak kasus, kegagalan promosi kampus bukan karena kurang usaha, tapi karena kurang arah. Banyak institusi menetapkan target PMB tanpa riset pasar yang memadai. Mereka asal buka jurusan, sebar brosur, ikut expo, lalu berharap pendaftar berdatangan dengan sendirinya. Padahal, generasi Z tidak bisa ditaklukkan dengan selebaran cetak dan jargon klise.
Di sisi lain, tim marketing sering kali hanya dianggap sebagai pelengkap, bukan penentu strategi. Mereka dipaksa bekerja dengan anggaran terbatas, sambil menghadapi ekspektasi tinggi dari pimpinan yang kadang tidak memahami medan persaingan. Hasilnya? Akun Instagram aktif, tapi tidak ada engagement. Brosur penuh foto, tapi tanpa call-to-action. Semua sibuk “tampil keren” tapi lupa bahwa tujuannya adalah konversi nyata.
Sementara itu, rektorat sering kali terjebak dalam narasi branding dan visi muluk. Visi “menjadi kampus kelas dunia” bergema di ruang rapat, tapi realitasnya mahasiswa lokal pun enggan mendaftar. Visi dan eksekusi tidak nyambung, terutama jika tidak ada koordinasi antara pengambil kebijakan dan pelaksana lapangan.
Konflik internal juga kerap menghambat performa tim. Marketing dianggap anak tiri, dosen merasa tak perlu turun tangan dalam promosi, dan rektor sibuk dengan urusan birokrasi. Dalam struktur organisasi yang kaku, kultur “kerja karena kewajiban” mengalahkan semangat “kerja karena target”.
Namun yang paling krusial adalah komunikasi publik yang gagal menyentuh hati calon mahasiswa. Banyak kampus masih mempromosikan diri dengan narasi lama: “fasilitas lengkap”, “lulusan siap kerja”, “terakreditasi unggul”. Semua itu tidak lagi relevan jika tidak disesuaikan dengan kebutuhan Gen Z yang lebih mencari makna, pengalaman, dan koneksi ke dunia nyata.
Dalam kondisi seperti ini, bukan hanya soal siapa yang layak dipecat. Ini tentang siapa yang berani berubah. Apakah pimpinan siap mendengarkan data pasar, bukan sekadar ego lembaga? Apakah marketing diberi ruang dan sumber daya untuk bereksperimen? Apakah dosen mau turun ke lapangan dan ikut membangun cerita kampus?
Jika tidak, jurusan akan terus sepi, dosen makin banyak yang nganggur, dan lambat laun kampus bisa kehilangan akreditasi, bahkan eksistensinya.
Sebuah kampus bukan hanya tempat belajar, tapi juga merek yang harus dikelola dengan strategi, data, dan empati terhadap calon mahasiswanya. Era pendidikan saat ini adalah era seleksi alam: yang adaptif bertahan, yang keras kepala hilang dari peta.
📌 Jika sebuah kampus gagal menjual dirinya sendiri, maka bukan hanya marketing yang harus diperiksa—seluruh sistem manajemen perlu diaudit ulang. Karena jika tidak segera dibenahi, bukan hanya mahasiswa yang tidak datang. Tapi masa depan institusi pun bisa lenyap pelan-pelan. Baca Selengkapnya
Tidak ada komentar